Jumat, 27 November 2009

ALAY

Coba sebutkan apa yang ada dipikiran kamu ketika mendengar judul artikel ini? Untuk beberapa orang mungkin akan bilang norak, kampungan, idih, najong, amit-amit, pokoknya enggak wajar deh.

Yap, alay merupakan sebuah istilah yang entah dari mana datangnya bagi orang-orang yang merasa dirinya “normal” untuk menyebut orang yang dianggapnya aneh, norak, kampungan, dsb. Ketika kamu mendengar kata alay, lalu visualisasi seperti apa yang ada di pikiran kamu? Gaya berpakaiannya aneh, sok “g4h03L” tapi yaaah apa boleh buat. Dan satu lagi yang PASTI enggak kelewatan kalo kita mendengar kata alay adalah tulisan sms nya.

Menurut pengamatan saya, alay hanyalah orang biasa seperti kita. Hanya saja lingkungan sosialisasi mereka berbeda dengan kita sehingga mengakibatkan perbedaan sudut pandang dan pemikiran yang pada akhirnya membedakan budaya antara kita dan mereka. Di sini saya melihat ada perbedaan pemahaman mengenai konsep ‘orang normal’ dan ‘gaul.’

Umumnya orang-orang yang kita sebut alay berada pada level strata menengah kebawah dan biasanya lingkungan tempat tinggalnya dipadati pendatang dari desa di pinggiran kota. Menurut beberapa orang termasuk saya mengatakan bahwa kata alay merupakan sebuah singkatan dari ‘anak layangan,’ dimana orang-orang yang suka bermain layangan biasanya orang-orang pinggiran kota. Biasanya pendeskripsian kita terhadap orang-orang tersebut adalah orangnya hitam, dekil, kumal, bajunya lusuh, rambutnya “kemerahan” (bukan karena keturunan eropa yah).

Orang-orang desa yang tinggal dipinggiran kota umumnya bangga karena ‘setidaknya’ mereka sudah naik ‘kasta’ sedikit dari saudara-saudara mereka di desa. Mereka seakan ingin menunjukkan pada orang-orang bahwa mereka juga merupakan warga perkotaan.

Berbagai cara mereka tempuh untuk mendapatkan identitas warga kota dalam diri mereka. Mulai dari pakaian mereka, gaya bicaranya, dan juga tulisan sms mereka. Mari kita bahas satu persatu.

Pakaian : beberapa alay merasa memiliki prestise lebih dibanding entah siapa jika mereka memakai pakaian branded-abal. Misalnya ketika mereka menggunakan T-Shirt bermerek Skater

Gaya bicara : mereka merasa gaul jika berbicara dengan kata “elo, gue” atau bahasa apapun yang ada di sinetron ftv atau jangan-jangan sinetron indosiar yang ber-dubbing­ itu (oh tidak!)

Xmx : pernah lihat kata-kata itu? Yak, kalau diartikan kedalam bahasa inggris, artinya adalah short message service. Tahu kan gaya tulisan yang hUruFnYaa gdE KeChILL? Yap, ini adalah salah satu maha karya mereka

Menurut kacamata antropologi, salah seorang pakar mengatakan bahwa orang-orang seperti ini mengalami yang namanya culture shock. Mereka dalam proses adaptasi terhadap lingkungan baru di kota, tetapi dalam prosesnya mereka mengalami benturan-benturan dikarenakan oleh lingkungannya dan mungkin juga kondisi kemampuan ekonominya. Sebelum mereka sempat mengenali bagaimana kebudayaan orang-orang perkotaan, mereka sudah terlebih dulu dianggap normal dan mungkin gaul oleh lingkungannya. Sedangkan warga kota yang mayoritas menganggap lingkungan mereka kampungan dan tidak wajar (tidak normal).

Di satu sisi, orang-orang kota menganggap normal atau gaul adalah hal-hal yang mereka sering lihat di tv, atau dalam istilah sosiologi kita mengenal adanya reference group dari orang-orang kota yaitu seperti yang ada di majalah atau Hollywood. Sehingga mereka beranggapan kalau mereka sudah menjadi normal dan gaul ketika mereka sudah bergaya (dari fashion, gaya bicara, pekerjaan, dll) seperti apa yang menjadi reference group mereka. Di sisi lain, orang-orang yang dianggap alay memiliki reference group yang berbeda kemungkinan dikarenakan link mereka yang berbeda pula. Misalnya saja link yang mereka dapatkan di televisi adalah penyanyi ST12, atau Kangen Band. Maka itulah yang menjadi reference group mereka, sehingga mereka merasa telah menjadi normal atau gaul ketika mereka telah bergaya seperti itu. Sama halnya dengan perbandingan antara anak gaul Indonesia dengan Amerika. Di Amerika anak-anak seusia SMA akan dikatakan sebagai anak gaul apabila mereka mempunyai pasangan yang berbadan atletis, ‘exist’ di sekolah, dan sudah tidak virgin. Kalau di Indonesia, mungkin hanya segelintir orang saja yang seperti itu dikarenakan benturan-benturan budaya masyarakatnya. Pada dasarnya ini hanyalah perbedaan pemahaman mengenai konsep.

Kebudayaan tidak ada stratifikasinya, hanya saja orang-orang yang mendefinisikan budaya mereka sebagai yang lebih baik atau yang lebih buruk.

1 komentar: